BEM Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Kegelisahan puan tanpa tumpuan

Pada hari itu, saya mencoba mengukur kesunyian jeritan seorang perempuan yang suaranya
terbungkam di dalam tembok tebal sebuah ruang domestik, saya melihat celah-celah dari
tembok yang menjulang tinggi di hadapan saya, semakin mencoba untuk menelaah celah
tersebut, semakin tidak asing rasanya untuk diterima oleh kedua telinga saya. “Ya! Jeritan
ini sama seperti jeritan seorang perempuan di balik Habis Gelap Terbitlah Terang itu!
Kartini!” tutur saya dalam mulut yang masih terbungkam. Melalui keberaniannya, Kartini
menjelajahi kebebasan berpikir dan menulis. Berlembar-lembar guratan Kartini berusaha
untuk mendobrak tembok feodal yang mengikat dirinya. Namun, apakah ratusan kertas dan
berbotol-botol tinta yang terpakai akan dapat mengikis untaian tangis dari tangan Kartini
yang teriris?

“Bila boleh oleh adat lembaga negeri saya, inilah kehendak dan upaya saya, ialah
menghambakan diri semata-mata kepada daya upaya dari usaha perempuan kaum muda.
Tetapi, adat kebiasaan yang sudah berabad-abad itu, ada yang tak mudah merombaknya, itu
membelenggu dalam genggamannya yang amat teguh. Suatu ketika akan terlepas jua kami
dari genggaman itu, akan tetapi masa itu masih jauh lagi, bukan main!” begitulah jeritan
sekaligus harapan seorang Kartini ketika masa itu. Membuka kembali setiap halaman yang
dituangkan olehnya dan mencoba menimbang dengan beban yang dihadapi oleh para
perempuan di masa kini, tentunya menyadarkan bahwa sandaran yang Kartini buat dengan
berlembar-lembar guratannya itu masih belum menemukan tumpuannya hingga saat ini.
perempuan -perempuan di masa kini masih terbelenggu di dalam batasan-batasan yang
nampak maupun tidak, bahkan ketika diteriakkan “hidup perempuan yang melawan!”
perasaan ini pun tidak semerta tanpa batas dan akan selalu hadir dengan syarat. Desakan
kebebasan dari perempuan-perempuan di masa kini harus berhadapan dengan pembatasan
immaterial, patriarki, dan segregasi rasial baik oleh hukum atau tindakan.
Tentunya pembatasan-pembatasan ini sangat terlihat di negeri kita sendiri. Batasan yang
nampak selalu menghadirkan betapa kuatnya adat lembaga yang memposisikan perempuan
di ruang ke dua, batasan yang tidak nampak tentunya akan selalu menyatu dalam setiap
langkah perempuan setiap harinya. “Semua perempuan itu cantik, bagaimanapun bentuk
wajah, warna kulit dan darnimana mereka berasal” ucap mereka. Akan tetapi, para
perempuan tetap saja masih menjadi bahan komersial hingga saat ini. “Perempuan harus
menjadi independent women” tetap saja, perasaan merdeka itupun akan hadir dengan
syarat “jangan terlalu independent, nanti tidak ada lelaki yang mau!”. Belum lagi
pembatasan ini hadir dari kaum perempuan itu sendiri, “kok perempuan itu mau sih nikah
muda? Lihat dong saya berhasil menjadi independent woman!” ucap perempuan yang
merasa berhasil mendobrak tembok domestik itu. Berbagai teriakan itu terus menerus
datang mempersempit ruang kebebasan perempuan masa kini. Kinerja perempuan masa
kini selalu disempitkan pada ruang domestik dan suaranya diragukan di ruang publik,
perempuan-perempuan yang bekerja di ruang publik pun harus memiliki keberanian dua
kali lipat agar tidak diragukan oleh pandangan-pandangan yang samar. Ini menjadi sebuah
pertanyaan apakah kegelisahan para perempuan ini pada akhirnya akan menemukan suatu
sandaran? Atau berakhir pada suatu tumpuan yang berantakan? Dan lontaran pertanyaan
ini hadir untuk kita sebagai perempuan generasi muda bahwa, apakah ruang perempuan itu
memang ada?

Tentunya sebagai generasi muda marilah kita bangun usaha untuk membangun “ruang
perempuan sebagai laboratorium gagasan” melahirkan kebiasaan-kebiasaan kerja tekun
yang berlanjut. Seperti kutipan indah yang disampaikan dari buku yang amat saya cintai
Yang Terlupakan dan Dilupakan, kita hadirkan ruang aman dan nyaman bagi setiap
perempuan untuk menyampaikan ide-idenya, keluh-kesahnya dan cita-citanya tanpa rasa
cemas akan dihakimi kecerdasannya, kita hadirkan kesempatan belajar dari satu sama lain
untuk membangun argumen yang kokoh serta narasi yang manusiawi dan hangat, kita
hadirkan pandangan-pandangan yang bersambungan untuk mengajukan perubahan secara
mendasar. Kita hadirkan dunia impiannya Kartini terhadap dunia “ramah perempuan”
bersama dengan kesadaran lintas gender, yang berarti “seluruhnya peduli pada perempuan,
sebagaimana perempuan peduli kepada sesama perempuan”
Karena dalam harapan Kartini yang penuh tangisan, dalam harapan setumpah perubahan,
kita jadikan bulir-bulir aspirasi, tidak hanya menjadi narasi, tetapi menjadi inspirasi yang
mengubah generasi. Dan pada akhirnya, kita sampai pada harapan terhadap sandaran
kegelisahan perempuan yang berujung pada tumpuan yang menjanjikan.